Toyota C-HR Hybrid. TEMPO/Wawan Priyanto
GOOTO.COM, Jakarta - Tempo berkesempatan menguji Jalan Tol Layang Jakarta - Cikampek II (Tol Layang Japek) menjelang puncak arus mudik Natal 2019. Tepatnya pada Senin, 23 Desember 2019 menggunakan mobil Toyota C-HR Hybrid. Pemilihan waktu itu sehari sebelum puncak arus mudik Natal 2019 sengaja dipilih untuk menghindari kemacetan yang berpotensi terjadi pada pintu masuk maupun keluar Tol Layang Japek.
Jalan tol layang ini membentang sepanjang 36,4 kilometer. Dari Cikunir, hingga Karawang Barat. Jalan tol ini diresmikan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada 12 Desember 2019. Namun demikian, uji coba perdana untuk masyarakat tanpa dipungut biaya alias gratis baru dilakukan pada Minggu, 15 Desember 2019.
Tol layang ini tidak memiliki rest area, hanya dilengkapi dengan bahu jalan untuk keadaan darurat, dan tiga U Turn (putaran balik) untuk mengantisipasi keadaan darurat. Setidaknya fasilitas tersebut diberlakukan sementara karena uji coba ini akan terus dievaluasi Kementerian Perhubungan.
Tol Layang Japek arah Cikampek-Jakarta terlihat lancar pada Senin, 23 Desember 2019. TEMPO/Wawan Priyanto
Pertanyaannya, benarkah jalan tol layang ini bergelombang seperti ramai diberitakan? Dari pengamatan Tempo, faktanya jalan tol layang ini memang bergelombang, tapi masih dalam batas kewajaran. Artinya, bukan bergelombang yang membuat laju mobil mentul-mentul ekstrem pada kecepatan yang telah ditentukan, yakni 60-80 kilometer per jam.
Foto-foto yang beredar terkait jalan tol layang itu sebenarnya median jalan yang melintasi persimpangan jalan atau jembatan penyebrangan. Bukan sepenuhnya pada permukaan jalan tol seperti yang dibayangkan.
Kontur bergelombang terasa di setiap sambungan jalan tol (extension joint antar-grider) yang menghubungkan ruas tol. Sambungan ini diisi dengan baja dengan posisi sedikit di bawah permukaan aspal. Kesenjangan ketinggian inilah yang kemudian membuat laju kendaraan seperti melintas di speed bump rendah.
Permukaan aspal tidak rata...
Tempo juga merasakan beberapa area permukaan aspal terasa bumpy. Ini di luar sambungan jalan tol. Artinya, ada beberapa area yang permukaan aspalnya masih belum rata.
Dampaknya, bagi mobil-mobil berpostur agak tinggi seperti Low MPV atau kendaraan LCGC misalnya, pasti mengalami guncangan yang lumayan terasa dipacu dalam kecepatan tinggi.
Lain soal dengan kendaraan SUV seperti Toyota C-HR Hybrid atau sejenis yang biasanya sudah dilengkapi dengan kaki-kaki untuk medan semi off-road. Permukaan jalan bergelombang dapat diredam dengan baik oleh suspensi depan MacPherson strut dan untuk bagian belakang memakai Double Wishbone. Body roll juga diminimalisasi dengan pengaplikasian teknologi TNGA (Toyota Global New Architecture).
Meski demikian, pengendara dengan spek mobil mumpuni tetap dihimbau untuk memacu kendaraannya dengan kecepatan 60-80 kilometer per jam. Batas kecepatan ini secara tidak langsung akan membuat konsumsi bahan bakar mobil menjadi lebih hemat. Apalagi untuk mobil berteknologi hybrid.
Toyota C-HR Hybrid. TEMPO/Wawan Priyanto
Lantas bagaimana performa Toyota C-HR Hybrid di Jalan Tol Layang Japek II ini? Nah, speed limit di angka 80 kilometer per jam ini kami manfaatkan untuk merasakan kenyamanan sebuah mobil hybrid dalam arti sesungguhnya.
Soal performa, mesin hybrid bisa disebut lebih responsif dibanding model sekelas bermesin bensin konvensional. Sebagai perbandingan sepadan, Tempo pernah menguji Toyota C-HR non hybrid. Hasilnya memang berbeda. Mesin hybrid juah lebih responsif dan terasa ‘nendang’ pada waktu kick down.
Konsumsi bahan bakar irit...
Kembali ke speed limit 80 kilometer per jam. Angka itu merupakan batas kecepatan maksimum yang disarankan saat melintasi Tol Layang Japek II. Menariknya, di beberapa titik dengan kecepatan itu, motor listrik mengambil alih peran mesin konvensional. Artinya, mesin mobil otomatis akan mati dan penggerak beralih ke baterai yang disalurkan melalui motor listrik.
Ketika baterai menipis, mesin akan kembali mengambil alih peran penggerak. Saat mesin menyala, akan menyalurkan tenaga ke roda penggerak depan dan sekaligus mengisi baterai mobil. Sederhananya, saat berakselerasi (penuh) mesin akan berperan menggerakkan roda. Saat melaju dalam mode eco driving (di bawah 60 kilometer per jam, baterai mobil menggerakkan motor listrik).
Cluster meter Toyota C-HR Hybrid, 255,2 kilometer dengan rata-rata konsumsi bahan bakar 19,6 kilometer per liter. TEMPO/Wawan Priyanto
Seperti diketahui, Toyota C-HR Hybrid adalah kendaraan yang menggunakan teknologi Toyota Hybrid dengan dua motor penggerak yaitu Internal Combution Engine (ICE) dan motor listrik.
Kehadiran kendaraan ini memberikan pilihan baru kepada penggemar kendaraan SUV berbasis crossover yang juga memiliki kepedulian terhadap lingkungan.
Toyota C-HR Hybrid didukung mesin 2ZR-FXE 1.8L dengan output 100 PS yang dikombinasikan motor listrik (teknologi hybrid generasi keempat) berkekuatan 36 PS. Sebagai kendaraan elektrifikasi ramah lingkungan, konsumsi bahan bakar Toyota C-HR Hybrid lebih efisien 62 persen dibandingkan varian konvensional sehingga emisi CO2-nya diklaim lebih rencah 60 persen dibanding model bensin.
"Menghitungnya sederhana, untuk konsumsi bahan bakar 1:13 untuk mobil bensin dan 1:20 untuk mobil hybrid," kata Direktur Pemasaran PT TAM Anton Jimmi Suwandy beberapa waktu lalu.
Mantan pembalap Formula 1 asal Indonesia yang juga menjadi pembeli pertama Toyota C-HR Hybrid, Rio Haryanto, mengakui bahwa suspensi SUV futuristik ini pas saat digunakan untuk melaju di jalan bergelombang seperti di Tol Layang Japek II. "Suspensinya sangat pas, tidak terasa pada saat ada tanggulan juga tidak lompa-lompat. Smooth sekali pokoknya," kata dia beberapa waktu lalu.