Pengunjung melihat mobil listrik Lexus RZ 450e Luxury dalam pameran otomotif GIIAS 2023 di Sudirman Grand Ballroom, Bandung, Jawa Barat, 22 November 2023. Pameran otomotif GIIAS yang pertama kalinya digelar di Bandung itu diikuti 18 merek kendaraan bermotor dari berbagai lini industri dan menampilkan beragam inovasi, teknologi kendaraan bermotor serta menghadirkan kendaraan berbasis listrik. TEMPO/Prima mulia
GOOTO.COM, Jakarta - Target pemerintah pada sektor industri otomotif masih menemui batu sandungan karena masalah rantai pasok distribusi. Salah satu dampak dari minimnya atensi tersebut adalah kasus-kasus pembatasan distribusi dengan dalih perjanjian eksklusif atau keagenan.
Sejak 2013, penjualan mobil domestik bertahan di angka 1 juta unit per tahun. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) melaporkan bahwa penjualan mobil secara wholesales pada Januari hingga Maret 2024 mencapai 215.069 unit.
Jika dibandingkan secara year on year, penurunannya mencapai 23,9 persen. Dengan kata lain, tahun lalu pada periode yang sama, berhasil menjual 282.601 unit.
Melalui data tersebut, target pemerintah untuk mencapai penjualan tahunan di angka 2 juta pada 2030 terancam terhambat. Salah satu penyebabnya adalah regulasi di Indonesia yang belum mendukung, terutama untuk rantai pasok tengah.
Selama ini pemerintah fokus mendukung sektor hulu dan hilir, tapi lupa memberikan perhatian perlindungan pada dealer. Hal ini terlihat dari adanya perjanjian yang memuat klausul ekslusivitas. Klausul eksklusivitas dalam suatu perjanjian vertikal melarang investor untuk mendirikan usaha sejenis yang menjual merek berbeda.
"Kondisi itu tentu berbeda dengan praktik dahulu yang mendorong persaingan usaha sehat dan memperbolehkan pelaku usaha di bawahnya, dalam hal ini dealer, untuk bekerja sama dengan berbagai merek,‘‘ kata Dosen Hukum Persaingan Usaha Universitas Pelita Harapan Dian Parluhutan dalam keterangan resminya.
Dian menjelaskan sifat pasar otomotif di Indonesia adalah oligopoli, yang artinya hanya ada beberapa pemain yang menguasai pasar sektor otomotif. Ia mencontohkan pengusaha asal Jepang, Korea Selatan, atau Eropa membuat penentuan secara serempak pada pasokan barang, penetapan harga dan pelayanan jual.
Perjanjian pembatasan macam ini di Uni Eropa dikategorikan sebagai perjanjian yang secara mutlak dilarang (hardcore agreement). Bahkan di lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Uni Eropa, perjanjian ini tidak diperkenankan dan dianggap tidak layak.
Lebih lanjut Dian menyatakan, jika ada pasal dalam perjanjian kerja sama yang menyebutkan adanya klausul eksklusivitas, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum.
"Kalau sampai KPPU menemukan bukti perjanjian eksklusivitas, maka perjanjian itu dikatakan batal demi hukum. Jadi perjanjian dianggap tidak ada sama sekali," katanya.
Dian menegaskan bahwa perjanjian eksklusif merupakan perjanjian ilegal dan dengan mudah dinyatakan batal demi hukum menurut Pasal 1335 juncto Pasal 1320 KUH Perdata.
"Artinya, kalau menurut Pasal 1335 KHUPerdata dinyatakan seolah-olah tidak ada karena dia melanggar klausa atau melanggar undang-undang antimonopoli," imbuhnya.
Ahli Hukum Persaingan Usaha ini meminta KPPU harus secara lebih aktif melaksanakan investigasi sektoral, seperti sektor otomotif. Hal ini sebagai upaya untuk pencegahan adanya potensi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Data dari investigasi itu akan menjadi bukti-bukti yang disampaikan oleh pelapor.
Apabila dealer melapor ke KPPU, lalu izin kerjasamanya dicabut oleh pemilik merek, maka itu pun melanggar hukum. UU 5/1999 Pasal 15 dan Pasal 19 Huruf a melarang pelaku usaha melakukan perjanjian vertikal yang sifatnya menutup kebebasan dalam mengambil keputusan bisnis secara wajar kepada pelaku usaha di bawahnya.
Pilihan Editor: Auto2000 Bicara Kondisi Penjualan Mobil yang Tengah Lesu, Mobil Mewah Justru Naik
Ingin berdiskusi dengan redaksi mengenai artikel di atas? Mari bergabung di grup Telegram pilih grup GoOto