TEMPO/Subekti
TEMPO Interaktif, Jakarta - Rencana pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi kendaraan roda empat berdasar tahun pembuatan 2005 ke atas dinilai tidak akan efektif. Selain mekanismenya tidak jelas, pembatasan itu berpotensi menimbulkan penyelewengan yaitu terjadinya pasar gelap bahan bakar.
Erwin Subarkah, pengamat pemasaran otomotif dari Total Infinity Consulting, berpendapat, kebijakan pembatasan konsumsi bahan bakar bersubsidi oleh kendaraan tertentu itu, bila tidak dikontrol secara ketat bakal menimbulkan penyelewengan. Pasalnya, minat orang untuk membeli mobil akan terus meningkat sejalan dengan kebutuhan kenyamanan dan di tengah angkutan massal yang amburadul.
“Sehingga, bensin yang seharusnya untuk subsidi bisa beralih tangan ke mobil yang harusnya menggunakan non-subsidi. Akan ada pasar gelap, karena ini peluang pasar bagi para spekulan,” tuturnya saat dihubungi Tempo di Jakarta, Jumat (17/7).
Suhari Sargo, pengamat lainnya, melihat dari sisi lain. Menurut dia, kebijakan itu tidak akan efektif mencapai tujuan yang diinginkan.
“Kalau tujuannya untuk penghematan anggaran terutama beban subsidi, tentu pengurangan beban itu akan jauh lebih sedikit. Sebab jumlah mobil yang menikmati bahan bakar non-subsidi jauh lebih banyak,” papar Suhari Sargo, pemerhati otomotif kepada Tempo.
Lantas ia pun menyodorkan hitung-hitungan. Bila saban tahunnya penjualan mobil baru - di luar truk dan mobil untuk angkutan kota serta taksi - rata-rata 400 ribu unit, maka jumlah mobil keluaran 2005 – 2010 secara kumulatif hingga saat ini hanya 2 juta unit.
“Sementara, jumlah mobil produksi 2004 hingga tahun 1980 saat ini sekitar 15 – 17 juta unit. Jadi jauh sekali terpautnya, sehingga beban subsidi tetap saja masih tinggi,” terang Suhari.
Pada sisi lain, mekanisme penentuan tahun pembuatan mobil yang akan mengisi bahan bakar di suatu pompa bensin juga bisa menimbulkan persoalan tersendiri.
“Mekanisme seperti apa, caranya seperti apa ini juga belum jelas. Sehingga, alangkah bijak bila pemerintah sudah benar-benar menetapkan mekanisme baku yang bisa menjadi pedoman,” tutur Endro Nugroho, Direktur Pemasaran PT Suzuki Indomobil Sales, saat dihubungi.
Baik Suhari maupun Endro berpendapat, bila tujuan yang ingin dicapai adalah penghematan subsidi, penghematan konsumsi bahan bakar fosil, serta sikap ramah lingkungan atau mengurangi polusi, maka kebijakan yang diambil pemerintah harus bersifat menyeluruh. Setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan secara berbarengan.
“Pertama, membenahi infrastruktur terutama jalan. Kedua, penyediaan angkutan massal yang nyaman. Ketiga, pembenahan tata kota,” tandas Suhari.
Saat ini panjang jalan di Indonesia, menurut Suhari, hanya 360 ribu kilometer (km). Sehingga bila dibanding jumlah penduduka, yang sekitar 240 juta, maka rasio antara penduduk dengan jalan mencapai 160 km : 1 juta jiwa.
"Ini sangat jauh dari ideal, sehingga secara teoritis dimana pun dan kondisi apapun sejauh pembenahan infrastruktur belum ada, sejauh itu pula kemacetan akan terjadi," imbuh dia.
Sementara bagi Endro, masih terkonsentrasinya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di kota-kota besar juga memberikan sumbangan tidak sedikit terjadinya kemacetan. Akibatnya, penggunaan bahan bakar jumlahnya membengkak.
Lantas, akankah pembatasan konsumsi bahan bakar subsidi itu mempengaruhi penjualan mobil baru? “Saya kira kecil sekali, karena pembelian mobil itu merupakan pilihan dan orang membeli untuk memenuhi kebutuhan akan kenyamanan,” sebut Suhari.
Sedangkan Endro berpendapat sebaliknya. Menurutnya, kebijakan itu akan berdampak pada penjualan mobil baru. “Hanya seberapa besar, sampai saat ini belum bisa diperkirakan,” aku dia..
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh, Jumat (17/6) memastikan mobil produksi 2005 ke atas tidak dapat mengakses bahan bakar minyak (BBM) subsidi.
ARIF ARIANTO