Seorang fotografer mengabadikan mobil All New Honda City saat diluncurkan perdananya di Indonesia di Ballroom The Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta Selatan, (24/4). TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - PT Honda Prospect Motor (HPM) menganggap tuntutan salah satu konsumen mereka, Maringan Aruan, terkait kecelakaan mobil Honda City B 61 GIT yang terjadi pada 2012 lalu tak berdasar. Tuntutan tersebut dianggap keliru karena airbag di mobil tersebut tidak cacat produksi.
"Airbag tak mengembang karena benturan saat tabrakan tak memenuhi prasyarat agar airbag berfungsi," kata Technical Training Assistant Manager HPM Muhamad Zuhdi dalam konferensi pers Selasa, 19 Mei 2015, malam.
Pada 29 Oktober 2012 lalu, Honda City produksi tahun 2009 yang dikemudikan Desryanto Aruan, putra Maringan, lepas kendali di Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan. Mobil tersebut menabrak besi pembatas jalan, hingga menyeberang ke arah berlawanan dan berhenti setelah menabrak pilar bangunan restoran. Akibat kecelakaan tunggal ini bagian depan mobil hancur. Desryanto tewas di lokasi akibat luka di dadanya.
Dua bulan setelah kejadian, HPM menerima pengaduan dari Maringan. Waktu itu, kata Zuhdi, pihak Honda segera melakukan pemeriksaan terhadap mobil yang rusak. "Bahkan unit SRS airbag di mobil kami terbangkan ke Jepang untuk diperiksa teknisi Honda." Tak lama berselang, Honda Jepang menyatakan bahwa tak ada masalah pada unit SRS airbag Honda City Maringan. "Hasil pemeriksaan di sana menyebutkan kantung udaranya masih bisa berfungsi.
HPM kemudian melakukan analisis terkait kecelakaan tersebut. Hasilnya, HPM menganggap tabrakan yang dialami Desryanto tak memicu sensor kantung udara. Soalnya, Zuhdi menjelaskan, benturan terjadi di bagian samping depan mobil yang sudutnya lebih dari 30 derajat. Sensor kantung udara sendiri terletak di rangka depan mobil. "Benturan tak mengaktifkan sensor, walaupun kondisi eksterior mobil hancur."
Kata Zuhdi, airbag baru bakal mengembang jika tabrakan terjadi secara frontal dan menabrak benda kokoh yang tidak bergeser atau hancur saat terjadi tabrakan. Sementara dalam kasus ini mobil menabrak pagar pembatas. Prasyarat ini, menurut dia, berlaku untuk airbag di setiap tipe mobil.
Dalam pemeriksaan terhadap kondisi mobil juga terungkap bahwa tabrakan itu sebetulnya mampu diredam oleh rangka mobil, sehingga kabin mobil tetap utuh. "Korban meninggal karena luka di bagian dada akibat tusukan besi pagar pembatas jalan yang tertabrak dan masuk melalui kaca depan." Atas dasar itu, kata Zuhdi, Honda tak wajib memenuhi tuntutan penggugat, karena kerugian yang dialami penggugat bukan karena cacat produksi pada airbag dan mobil korban.
Meski kasusnya telah terjadi bertahun-tahun lalu, Maringan tetap tak puas. Maret lalu dia mendaftarkan gugatan terhadap Honda. Dalam tuntutannya melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Maringan meminta Honda mengganti kerugian dengan nilai total Rp 56 miliar, karena kecelakaan itu merenggut nyawa putranya.
Dia mengacu Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan menganggap klaim Honda terkait produk City yang dilengkapi airbag palsu. Maringan menganggap kematian putranya itu disebabkan fitur kantung udara pada sedan miliknya tak mengembang saat kecelakaan. Dia menduga terjadi cacat produksi sehingga salah satu alat keselamatan tersebut gagal melindungi putranya.
Kuasa hukum Honda Hesti Setyowati menyatakan, penjelasan HPM tersebut telah diberikan kepada hakim mediasi PN Jaksel yang menangani kasus perdata ini. "Pihak HPM juga sudah menunjukkan itikad baik dengan melakukan mediasi sebelum kasus ini bergulir ke pengadilan, tapi pihak penggugat tetap meminta Honda membayar ganti rugi."
Adapun majelis hakim yang memimpin sidang gugatan ini di PN Jaksel pada Selasa siang tadi memutuskan untuk menunda sidang hingga pekan depan, untuk meminta jawaban (replik) dari pihak Maringan. Kami, kata Hesti, telah meminta Majelis Hakim agar gugatan Maringan tersebut ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima.
Dihubungi terpisah, pengacara Maringan, Iskandar Zulkarnaen mengatakan siap memberikan tanggapan terhadap jawaban Honda tersebut. "Buat kami jawaban itu tetap tidak memuaskan, karena hasil pemeriksaan di Honda Jepang tidak pernah diungkapkan kepada kami sejelas-jelasnya." Iskandar bahkan mengancam, pihak Maringan siap melayangkan gugatan yang sama terhadap kantor pusat Honda melalui pengadilan Jepang.
"Kasus ini bukan mempersoalkan kematian korban, tapi bagaimana konsumen dirugikan oleh klaim palsu produsen atau dalam hal ini Honda," ujarnya.
PRAGA UTAMA