Bahan bakar nabati
TEMPO.CO, Jakarta - Setelah program mandatori biodiesel 15 persen berjalan, kini pengusaha menggulirkan wacana produksi biolubricant atau pelumas nabati. Ini untuk menambah penyerapan minyak sawit di dalam negeri.
"Saat ini penelitiannya sudah sampai tahap akhir, jadi tahun depan sudah ada prototipenya," kata Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga saat ditemui di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis, 9 September 2015.
Menurut Sahat, minyak nabati juga tidak mengandung sulfur sehingga cocok untuk pelumas, terutama jenis grease atau gemuk dan hidrolik. Sebab, karakter trigliserida minyak sawit memang sesuai dengan kedua jenis produk tersebut.
Sementara itu, untuk penggunaannya, ucap Sahat, pelumas nabati baru sesuai dengan spesifikasi mesin berkecepatan rendah atau medium. "Untuk mesin-mesin berkecepatan tinggi masih kurang sesuai."
Bagaimanapun, Sahat menyebutkan, potensi pasar untuk pelumas nabati di Indonesia cukup besar. Di antaranya adalah mesin-mesin di industri makanan atau kapal-kapal yang beroperasi di danau. Selain itu, militer memerlukan pelumas jenis ini untuk perawatan senjata. "Kira-kira kebutuhannya 650-700 ribu ton per tahun," katanya.
Kalangan industri kelapa sawit memang berusaha mendorong hilirisasi dan penyerapan produknya di dalam negeri. Sebab, harga sawit dunia masih rendah di kisaran US$ 600 per metrik ton. Permintaan minyak nabati di pasar dunia juga masih rendah karena harga minyak bumi juga rendah. "Kami juga memerlukan dukungan pemerintah," katanya.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto menyatakan jajarannya di Kementerian Perindustrian mendukung penuh upaya hilirisasi. "Khusus untuk produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ini produk turunannya banyak, bisa untuk biofuel, biolubricant, bioplastic, dan lain-lain. Semuanya akan kita dukung," katanya.
PINGIT ARIA