Pengunjung melihat prototipe kendaraan listrik yang ditampilkan di kawasan ITB pada acara ITB CEO Summit on Innovation, di Bandung, Jawa Barat, 22 Agustus 2016. Sejumlah protipe mobil listrik diciptakan mahasiswa ITB seperti mobil perkotaan listrik, angkutan perkotaan listrik, kendaraan konversi angkutan pedesaan dan trike untuk mengurangi kebutuhan BBM dan pencemaran lingkungan di dalam negeri. TEMPO/Prima Mulia
TEMPO.CO, Jakarta - Aturan turunan mengenai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) akan dimuat dalam regulasi yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian mengenai low carbon emission vehicle (LCEV).
LCEV merupakan program lanjutan dari low cost green car (LCGC) atau kendaraan hemat energy dan harga terjangkau (KBH2). Masuk di dalamnya adalah kendaraan hemat energy berbasis listrik (mobii listrik) maupun hybrid. Perumusan LCEV sendiri telah dilakukan kementerian tersebut sejak tahun lalu.
"Salah satu regulasi teknis RUEN adalah struktur baru PPnBm untuk LCEV yang sedang kami siapkan," kata Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan seperti dikutip dari Bisnis.com, Senin, 4 September 2017.
Pemerintah telah menerbitkan regulasi yang menjadi acuan pengembangan kendaraan hybrid dan listrik, yakni Perpres No. 22/2017 tentang RUEN. Dalam beleid tersebut dituliskan bahwa pemerintahakan mengembangkan kendaraan bertenaga listrik/hybrid pada 2025 sebanyak 2.200 unit untuk roda 4.
Baca: Pemerintah Cari Investor Kembangkan Mobil Listrik
Sebagai instrument pendukung, pemerintah juga menyiapkan kebijakan pemanfaatan kendaraan bermotor berbahan bakar bensin dan ethanol (flexi-fuel engine), serta menyusun kebijakan insentif fiskal untuk produksi mobil dan motor listrik.
Pemberian insentif ini merupakan salah satu langkah yang diandalkan oleh pemerintah untuk memancing minat produsen dalam mengembangkan kendaraan hybrid/listrik. Pemberian insentif juga ditujukan untuk menekan harga jual.
Putu menjelaskan, ada empat poin yang akan dikembangkan oleh Kementerian Perindustrian sebagai tindak lanjut dari RUEN itu. Pertama adalah mengakomodasi carbon tax sebagai kontribusi untuk menurunkan CO2, kedua memperhatikan program KBH2/LCGC untuk kendaraan penumpangkecil.
Adapun ketiga adalah menyediakan insentif kepada industri yang memproduksi LCEV, dan keempat membagi kendaraan menjadi dua kelompok yakni kendaraan penumpang dan kendaraan komersial.
"Saat ini kami terus mengembangkan itu dan melakukan pembahasan dengan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan," ujarnya.
Simak: BPPT Siap Dukung Pengembangan Mobil Listrik
Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Deendarlianto menilai, Untuk menahan impact di industri oleh munculnya pajak CO2, perlu adanya sedikit penyesuaian. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh UGM, untuk menurunkan jumlah kendaraan sebesar 1 persen diperlukan kenaikan harga sebesar 0.63 persen untuk menyeimbangkan.
Hasil impact lainnya adalah turunnya penjualan sebesar 1 persen pada sector kendaraan bermotor yang akan menyebabkan turunnya GDP sebesar 0,07 persen. Menurutnya, Rekomendasi untuk mengendalikan atau membatasi emisi CO2, diusulkan skema insentif dan disinsentif.
Skema insentif dengan mendorong produsen untuk mengadopsi teknologi yang lebih baru dan lebih bersih dan mendorong konsumen untuk beralih ke mobil baru dan lebih bersih, menerapkan tingkat pajak rendah untuk mobil baru, dan tingkat pajak tinggi untuk kendaraan lebih tua, serta menjamin ketersediaan bahan bakar kualitas tinggi di pasaran.
“Untuk skema disinsentif adalah scraping, inspection, reduce subsidi untukbahan bakar berkualitas rendah [hanya cocok untuk kendaraan tua,” katanya.
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi menilai waktu yang tersisa masih memungkinkan produsen untuk mengembangkan kendaraan hybrid.
Hanya saja dia mengingatkan kepada pemerintah untuk melakukan melakukan pentahapan peningkatan kualitas kendaraan produksi lokal. Pertama adalah dengan menerapkan standar emisi Euro 4 dengan menyediakan bahan bakar yang sesuai. "Baru kemudian setelah itu langkah-langkah lain. Harus bertahap dan untuk sekarang harus diprioritaskan yang mendesak, yakni Euro 4," ujarnya.